jump to navigation

Retorika dan Mimpi Industri Pertahanan Mei 3, 2010

Posted by abdinagoro in Celoteh Akhir Minggu, Strategic Management.
Tags: , , , , ,
add a comment

Pemerintah yang menaikkan anggaran pertahanan dan jaminan Presiden untuk memenuhi kebutuhan persenjataan bagi TNI memang patut diapresiasi. Boleh jadi ini merupakan jawaban terhadap persoalan banyaknya musibah dan ketidakberdayaan kita pada alat utama sistem pertahanan (alutsista) dua-tiga tahun terakhir. Meskipun menurut Juwono Soedarsono anggaran kita masih jauh dari Minimum Essential Force (MEF) yang besarnya kurang lebih Rp.120 Trilyun, tetapi dalam APBN 2010 anggaran untuk alutsista sebesar Rp.10,2 Trilyun perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Proyeksi Departemen Perindustrian yang menargetkan 5 tahun ke depan sektor alat penunjang ketahanan nasional menguasai pasar 60%-80% harus pula dicermati. Selain itu, dukungan dari semua pihak baik legislatif maupun eksekutif untuk mendorong terbangunnya industri pertahanan yang kokoh memang harus dibuktikan sehingga tidak akan dibilang hanya retorika belaka.

Pasar Alutsista dan Strategi Kebijakan
Tentu kita tidak akan bicara tentang “industri” tanpa meninggalkan aspek pasar. Industri akan hidup jika pasarnya ada dan mendukung. Bila melihat besarnya belanja alutsista pada APBN 2010 dan bila dihitung belanja rata-rata Rp.7 Trilyun per tahun, maka dapat diperkirakan sebesar inilah jumlah maksimal pangsa pasar yang ada. Tentu ada sebagian dialokasikan untk alutsista impor. Tinggal penentu kebijakan yang semestinya menetapkan seberapa besar alutsista yang bisa disediakan oleh industri dalam negeri. Logikanya, jika ingin mengembangkan industri pertahanan lokal, maka porsi belanja alutsista lokal harus lebih dan makin besar. Namun, sekali lagi hal ini juga tergantung dari strategi kebijakan yang disusun.
Penyusunan strategi kebijakan sendiri tampaknya juga masih dilakukan secara parsial dan terpisah-pisah. Masing-masing institusi atau lembaga yang merasa terlibat dengan “industri pertahanan” ini memiliki konsep, rencana atau program sendiri-sendiri. Sebagai contoh, Departemen Perindustrian membuat inisiatif Konsep Revitalisasi Industri Alutsista, begitu juga dengan Departemen Pertahanan yang membuat Rencana Induk Industri Pertahanan. Belum lagi Kementerian Negara Riset dan Teknologi. Selain itu, Kementerian Negara BUMN pasti ikut terlibat karena pada dasarnya pelaksana produksi adalah perusahaan-perusahaan di bawah kementerian ini, seperti PT. DI, PT. Pindad, PT. PAL Indonesia, PT. Bharata atau BUMN yang lain.
Tentu jika ingin menciptakan sebuah industri pertahanan yang terintegrasi, pembagian tugas dan peran di antara institusi dan lembaga ini menjadi penting. Pertanyaan yang paling penting adalah siapa yang tepat menjadi pemegang kendali koordinasi?
Koordinasi “satu atap” diperlukan karena dengan cara seperti ini akselerasi pengembangan industri pertahanan dapat dilakukan. Paling tidak, kendala-kendala pokok yang ada seperti sistem pengadaan dan birokrasi dapat dihilangkan. Begitu juga dengan terjaminnya pembiayaan industri alutsista dalam jangka panjang. Untuk itu Departemen Keuangan sebagai pemegang otoritas anggaran hendaknya bisa memberikan jaminan itu. Jaminan ketersediaan dana atau anggaran jangka panjang, setidaknya 5 tahun, juga merupakan prasyarat jika kita memang bercita-cita membangun “industri”.
Kepastian dan jaminan anggaran akan membuat pelaku industri dapat mengetahui seberapa besar pangsa pasar atau kue industrinya. Dengan demikian pelaku industri juga dapat melakukan perencanaan dengan baik, baik untuk investasi maupun pengembangannya.

Butuh Aksi Terobosan
Sebetulnya, upaya-upaya untuk membangun industri pertahanan bukannya tidak ada. Kebijakan pengadaan satu pintu lewat Departemen Pertahanan, merupakan langkah bagus karena dengan begitu data kebutuhan alutsista baik jenis dan kuantitasnya dapat diketahui secara tepat. Data ini dapat dijadikan dasar pijakan bagi pengembangan “industri” alutsista selanjutnya.
Pengembangan produk dan teknologi industri alutsista lebih baik berorientasi ke dalam (inward looking), artinya fokus pada kebutuhan dan kemampuan memroduksi di dalam negeri. Sebetulnya kita nyaman pada posisi ini. Berbeda misalnya dengan industri pertahanan Inggris yang tergantung pada arah dan kebijakan induk pakta pertahanannya (NATO) dan kebijakan luar negeri yang ”ekspansif”, Indonesia relatif bertolakbelakang dengan hal ini, artinya pengembangan untuk kebutuhan sendiri rasanya akan diterima oleh masyarakat internasional.
Langkah berikut yang harus dipertimbangkan adalah tingkat kedalaman teknologi (level of technology) yang ingin dikembangkan oleh industri ini. Komponen-komponen yang memiliki teknologi tinggi (sophisticated technology) sudah pasti mesti diimpor akibat tuntutan peralatan yang sudah lebih dulu ada tidak dapat dihindari. Tetapi apabila saat ini kita hanya mampu pada level teknologi madya (middle technology) maka fokus produksi dan pengembangan industri alutsista kita perdalam pada level ini.
Sepantasnya ada satu lembaga yang berfungsi sebagai koordinasi strategi kebijakan dan pengembangan industri alutsista. Akan sangat baik jika lembaga ini berada langsung di bawah Presiden. Power yang kuat diperlukan, selain memerlukan ikatan koordinasi yang kuat juga karena eksekusi keputusan akan lintas Departemen. Lembaga ini juga memiliki kewenangan mengajak institusi riset seperti perguruan tinggi yang harus dapat dilibatkan dalam pengembangan riset teknologi terapan yang link-in dengan industrinya.
Sudah banyak yang bermimpi, kita memiliki industri pertahanan lokal yang kuat. Semoga saja tidak ada jargon NATO no action talk only!