jump to navigation

Peti Mati Pemasaran Juni 9, 2011

Posted by abdinagoro in Celoteh Akhir Minggu, Marketing, Strategic Management.
Tags: , , , , , , ,
add a comment

Peti mati yang dikirim ke berbagai tempat dan jumlahnya konon mencapai hampir 100 buah sempat membuat geger Jakarta. Polisi ikut turun tangan mengusutnya. Usut punya usut ternyata sebetulnya peti mati ini hanyalah sebuah “surat undangan” untuk acara peluncuran buku yang memang judulnya terdapat kata “Rest in Peace” alias kematian. Pengirimnya juga perusahaan pemasaran yang bergerak dalam pemasaran mulut ke mulut.

Pemasaran dari mulut ke mulut (word of mouth) memang menjadi salah satu strategi penting dalam pemasaran. Selain lebih murah, efeknya bisa luar biasa besar. Efek yang besar dan cepat serta berdampak luas ini biasa disebut juga sebagai Buzz Marketing. Kalau dibilang “peti mati” itu apakah berhasil sebagai buzz, tentu jawabannya berhasil. Setidaknya berita muncul bertubi-tubi di media internet, belum lagi banyak orang terpancing untuk berkomentar seperti Dewan Pers, pakar komunikasi dan sosial, dua orang Wakil Ketua DPR, polisi, hingga Juru Bicara Presiden. Tetapi apakah efektif sebagai media pemasaran, jawabnya belum tentu.

Salah satu yang boleh dibilang menjadi kekurang hati-hatian adalah penggunaan peti mati itu sendiri. Peti mati adalah lambang atau simbol yang buruk (bad symbol) yaitu lambang kematian, seperti juga burung gagak hitam. Banyak juga simbol buruk lain yang masih dipercaya, seperti angka 13 atau 4, atau Friday 13th. Percaya atau tidak, simbol-simbol atau dapat dikatakan sebagai tahayul (superstition) masih banyak beredar di masyarakat kita, bahkan pada negara maju sekalipun seperti Amerika Serikat apalagi China.

Beberapa penelitian ilmiah yang juga terkait dengan pemasaran, juga membuktikan bahwa tahayul masih berpengaruh terhadap sebuah produk atau keputusan pembelian. Contohnya, masih banyak gedung yang tidak menyantumkan lantai 13 atau 4. Di Indonesia, mungkin masih tabu untuk menyewa atau membeli rumah di lokasi yang “tusuk sate”. Untuk konsumen di China, Hongkong dan Taiwan, dalam penelitian Mowen dan Carlson (2003), kepercayaan kepada tahayul masih tinggi. Angka, warna atau simbol menjadi salah satu alasan konsumen melakukan keputusan pembelian dan berpengaruh terhadap kepuasan dalam menggunakan produknya.

Yang juga menjadi kekurang hati-hatian berikutnya adalah masalah budaya (culture), nilai-nilai (values) dan etika (ethics) dimana simbol itu digunakan. Boleh jadi peti mati di belahan dunia yang lain menjadi semacam lelucon atau joke, tetapi belum tentu terjadi di tempat yang berbeda. Memahami budaya dimana akan dilakukan program pemasaran menjadi penting, agar program pemasaran berhasil dan tidak menjadi boomerang jika tidak berhasil.

Simbol buruk vs Budaya

Apakah simbol yang buruk (bad symbol) bisa digunakan dalam sebuah kampanye pemasaran? Jawabannya tentu bisa. Simbol yang bukruk bisa saja berhasil ketika seseorang atau perusahaan ingin menyampaikan pesan protes atau memboikot sesuatu. Keranda mayat yang mirip dengan peti mati yang datang ke instansi tertentu seperti DPR, ternyata tidak menjadi masalah ketika yang disampaikan adalah protes mengenai matinya demokrasi.

Tikus, yang bisa dianggap sebagai binatang yang kotor, seringkali digunakan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk mengampanyekan gerakan anti korupsi. Tikus menjadi lambang dari koruptor dan semua orang menyetujui lambang tersebut. Artinya, ketika simbol yang buruk hendak digunakan dalam sebuah program pemasaran seperti iklan, maka hendaknya disesuaikan dengan konteks yang ingin disampaikan dan budaya lokal yang ada.

Strategi pemasaran yang tepat akan baik ketika budaya yang ada diperhatikan dan dipertimbangkan, apalagi di Indonesia yang sangat beragam etnis dan budaya, sehingga boleh jadi strategi pemasaran di satu propinsi atau wilayah akan berbeda dengan propinsi atau wilayah yang lain.

Buzz adalah pendukung sebuah program pemasaran tetapi bukanlah sebagai bintangnya (star) pemasaran. Sebagai buzz boleh jadi sebuah pesan menjadi berhasil, tetapi belum tentu berhasil dalam menyampaikan misi sebuah perusahaan jika caranya tidak tepat. Pesan yang baik jika disampaikan dengan menggunakan simbol yang buruk bisa berakibat buruk.

dimuat di Harian KONTAN, 9 Juni 2011