jump to navigation

Smelter, Pilihan Teknologi dan Lingkungan April 23, 2013

Posted by abdinagoro in Manufacture & Industry, Strategic Management.
Tags: , , , , , ,
add a comment

eaf

Kata ‘smelter’ menjadi kata yang paling populer setelah pemerintah mengeluarkan Permen ESDM No. 7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral. Banyak pengusaha di bidang pertambangan mulai menyiapkan diri untuk memenuhi Permen tersebut.

Hal yang penting pertama yang menjadi modal keberhasilan diterapkannya Permen ini adalah mengubah mindset pelaku usaha yang tadinya berperilaku sebagai seorang trader, dengan hanya mengekspor mineral mentah, menjadi seorang industriawan, menciptakan industri pengolahan mineral.

Saat ini, menjelang masa tenggang untuk membangun pengolahan mineral berakhir, sudah banyak perusahaan yang berusaha mendapatkan teknologi pengolahan mineral. Meski secara garis besar ada 2 metode, yaitu pyrometallugy yang menggunakan panas sebagai media pengolahan, dan hydrometallurgy yang menggunakan cairan kimia sebagai media pengolahan, namun metode pyrometallurgy -salah satunya menggunakan smelter– yang lebih populer dan diminati.

Pilihan Teknologi

Bisa diperkirakan jika sekarang sudah banyak penawaran dari berbagai pihak yang ingin bekerja sama dengan pemilik tambang. Smelter -pelebur- yang ditawarkan juga pasti banyak dengan segala jenisnya, mulai dari berbahan bakar kokas (blast furnace) hingga energi listrik (electric arc furnace).

Pilihan memang beragam, namun jika dilihat dari sejarah perkembangan penggunaan smelter untuk keperluan pengolahan mineral di negeri ini, memang sedikit sekali. Oleh karenanya, problema pertama adalah memilih teknologi smelter yang mana yang cocok untuk saat ini.

Belajar dari China, negeri ini banyak memiliki smelter dan memiliki sejarah yang panjang. Smelter mulai dari kapasitas produksi kecil hingga besar ada. Dan mereka melewati masa pembelajaran yang bertahap, mulai dari teknologi rendah/dasar dengan konsekuensi cenderung polutif, hingga mencapai teknologi tinggi dengan mempertimbangkan aspek-aspek lingkungan. Bagaimana dengan kita?

Dengan mempertimbangkan kondisi yang ada, seperti tambang mineral yang tersebar dan ukuran lahan/cadangan tidak terlalu besar, keterbatasan infrastruktur, ketersediaan energi listrik, serta keterbatasan pemahaman pada teknologi pengolahan, maka pemilihan dan penerapan teknologi smelter harus ditimbang masak-masak. Teknologi yang modern memerlukan investasi yang besar, dan secara penguasaan teknologi memerlukan lompatan yang besar. Kondisi yang ada kebanyakan tambang adalah dalam skala marginal.

Ada kendala memang yang harus diselesaikan semua pihak, tidak saja pemerintah dengan kementerian dan lembaganya, namun juga pengusaha tambang. Target pemerintah seperti dalam Permen tersebut hendaknya juga memperhatikan kemampuan pengusaha tambang dengan kondisi keterbatasan yang ada.

Jalan tengah harus ditempuh. Target pengolahan mineral memang harus terus jalan, namun bagi pengusaha tambang marginal dengan keterbatasan dana investasi maka peluang untuk menggunakan teknologi rendah/dasar-menengah harus juga diberikan karena secara keilmuan metalurgi layak digunakan. Konsekuensi apabila tingkat polutif relatif tinggi juga harus diberikan, misalnya diberikan ambang batas tertentu hingga 2-3 tahun. Meski sekarang banyak metode dan teknologi mengurangi polusi banyak dikembangkan, namun proses pembelajaran ini harus diberi ruang.

China merupakan contoh yang baik dalam melewati tahapan pembelajaran ini. Di Indonesia, hal ini juga sangat mungkin dilakukan, Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian, Kementerian LH, para ahli metalurgi dan pengusaha tambang dapat duduk bersama untuk menentukan tahapan-tahapan teknologi dan batasan-batasan tingkat polusi yang dapat diterima. Mencari solusi bagi kemajuan bangsa lebih baik diutamakan, daripada mempertahankan kepentingan masing-masing. Saatnya bergerak menjadi industriawan dan bukan lagi trader.